FOCUS GROUP DISCUSSION LDII : KEDAULATAN MARITIM DALAM PERSPEKTIF GEOPOLITIK DAN EKONOMI |
LDII Bangkalan | Indonesia sebagai negara
kepulauan kerap bermasalah dengan negeri tetangga soal perbatasan. Hal ini
diperparah dengan konflik perbatasan di Laut China Selatan, yang melibatkan
China, Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei Darussalam.
Efek perseteruan ini sampai pula ke Indonesia.
Salah satunya adalah terjadinya pelanggaran yang dilakukan kapal nelayan China
yang belum lama ini. Pencurian ikan dan pelanggaran batas wilayah sering kali
terjadi, untuk itu Indonesia tidak boleh tinggal diam.
Untuk mengetahui duduk permasalahan penegakan
hukum laut, LDII menghelat Focus Grup Discusion (FGD) yang bertemakan
“Kedaulatan Maritim dalam Perspektif Geopolitik dan Ekonomi: Tinjauan Hukum dan
Teknologi” pada Kamis (31/3). FGD tersebut mengundang Retno Windari
Poerwito pakar Hukum Laut Internasional, Pelabuhan, dan Maritim serta Prasetyo
Soenaryo pakar Teknologi dan Kebijakan Publik dari Paradigma Riset Institute.
FGD ini berpijak pada Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) pada 1982. UNCLOS mengatur beberapa
hal, pertama laut yang menjadi wilayah kedaulatan contohnya Zona Teritorial.
Kedua laut yang bukan wilayah kedaulatan namun terdapat hak dan yuridiksi
seperti Zona Tambahan dan ZEE. Ketiga, laut yang bukan merupakan wilayah
kedaulatan dan yuridiksi namun terdapat kepentingan di sana seperti kapal
negara asal yang ada di laut bebas.
“Kapal asing memiliki hak lintas damai (tidak
boleh memprovokasi, mengancam, mengambil ikan) dalam laut teritorial 12 mil,
melintas dengan cepat. Untuk kapal perang, tidak boleh memoncongkan
senjata dan harus memasang bendera. Namun demikian pada zona tambahan tidak
seketat di zona teritorial,” ujar Retno Windari Poerwito yang biasa disapa
Winda.
Sebagaimana yang ditetapkan Konvensi UNCLOS,
impelemtasi kedaulatan laut Indonesia dihitung berdasarkan penentuan perairan
pedalaman yang ditarik dari garis pantai surut hingga 12 mil laut ke depan.
Zona tambahan sepanjang 24 mil yang dihitung dari garis pantai surut.
Sementara 200 mil laut dari garis pantai menjadi Zona Ekonomi Eksklusif.
“Jika sudah memasuki 24 mil, kapal asing bisa
diusir. Namun jika sudah memasuki 12 mil maka sudah melanggar hukum dan bisa
dipenjara. Dan yang paling sering diributkan adalah ZEE. ZEE bukan merupakan
wilayah kedaulatan namun negara memiliki hak untuk konservasi sumber daya alam,
custom, fiskal, dan imigrasi berdasarkan hukum laut yang berlaku,” ujar Winda.
Kedaulatan adalah manifestasi tertinggi dari
kekuasaan dan kepemilikan. Klaim China terhadap wilayah Laut Cina Selatan,
khususnya gugus kepulauan karang Spratley menurut Winda tidak masuk akal.
Permasalahannya China bukanlah Negara Kepulauan (Archipelagic State).
Dijelaskan olehnya, negara kepulauan merupakan
negara yang memiliki wilayah laut dengan ketentuan tertentu. Garis pangkal
ditarik di antara titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar, dengan
ketentuan bahwa titik-titik ini harus berdekatan satu sama lainnya. Seluruh
wilayah perairan yang berada di dalam garis pangkal ini merupakan perairan
kepulauan. Maka negara tersebut memiliki kedaulatan penuh di wilayah perairan
kepulauannya.
“Bukan berarti negara pulau merupakan negara
kepulauan. Ada 19 negara yang termasuk negara kepulauan dengan syarat minimal
ada lima pulau terluar dan jarak antara pulau terluar maksimal tiga persen dari
titik terluar. Indonesia memiliki 196 titik-titik pulau terluar yang jaraknya
100 – 125 mil laut alias 2,5 persen yang diukur dari garis pantai. Maka
China tidak boleh mengklaim Kepulauan Natuna. Pulau yang menjadi tapal batas
pun bukan pulau karang apalagi pulau buatan,” Winda menjelaskan.
Justifikasi China bisa mengklaim kepulauan
Spratly hingga melakukan illegal fishing di wilayah Natuna menurut Winda ada
beberapa hal, terkait histroic fishing right dan traditional fishing ground.
China Mengklaim sejarah mengambil ikan di lokasi perseteruan sudah
berabad-abad, namun hal itu tidak pernah diakui oleh negara tetangga yang
berkonflik.
“Ada dua syarat, pertama sudah terjadi peristiwa
penangkapan ikan selama berabad-abad dan terus menerus serta mendapat pengakuan
oleh negara yang berbatasan dengan ZEE. Indonesia tidak berbatasan dengan China
dan tidak memiliki historic fishing right sehingga China tidak memiliki hak
mengambil ikan di Kepulauan Natuna. Jika kita bernegosiasi China soal
perbatasan, artinya kita mengakui China memiliki hak teritorial,” ujarnya
Hal yang tersirat dari upaya geopolitik China
yang mengklaim Laut Cina Selatan adalah upaya untuk menjamin generasi
penerusnya untuk hidup, jika hanya sumber daya alam (SDA) yang ada tidak akan
cukup, hal yang harus dilakukan China adalah mencari cadangan SDA yang lain.
Akhirnya China berekspansi dengan menggunakan klaim sejarah. China melakukan
hal tersebut karena ledakan jumlah penduduk.
Implikasi Teknologi dalam Kedaulatan Laut
Indonesia
Ketua Paradigma Riset Institute sekaligus Ketua
DPP LDII Prasetyo Sunaryo yang menjadi salah satu pembicara dalam FGD itu
menyatakan hukum laut memerlukan instrumen teknologi, seperti dalam hal menjaga
kedaulatan, tanggap bencana, hingga mengelola sumber daya alam di laut.
“Integrasi teknologi pada coastguard, memerlukan
teknologi yang memadai. Maksimalisasi integrasi teknologi dari tiga
matra, yaitu darat, laut dan udara. Termasuk keperluan pemantauan dan
pengawasan pantai (coastal monitoring and surveillance) garis pantai sepanjang
95.181 kilometer, serta Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 2,7 juta kilometer
persegi. Sayangnya saat kita membicarakan coast guard, seharusnya soal
teknologi sudah dipikirkan,” ujar Praseto Sunaryo
Coast Guard atau Badan Keamanan Laut (Bakamla)
memang baru diperkuat pada tahun 2014 berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2014 tentang Kelautan, baru sebatas tataran peraturan. Armada yang dimiliki
Bakamla saat ini hanya delapan unit kapal, jelas tidak cukup menjaga garis
pantai Indonesia.
Prasetyo menekankan dalam menjaga garis pantai,
Indonesia harus memiliki satelit, radar, stasiun darat, pesawat pengamat atau
pengintai, dan pusat komando yang ada pada kementerian terkait, untuk untuk
menjaga kedaulatan. Hanya saja menurut Prasetyo Sunaryo, paradigma penjagaan
kedaulatan belum terintegrasi antara tiga matra.
“Misalkan untuk matra laut harus memperbanyak
kapal laut, padahal semua itu harus melibatkan dua matra lain secara bersamaan
dengan platform teknologi. Selain itu lemahnya koordinasi dan distribusi
informasi antara Bakamla, TNI, dan kementerian terkait membuat upaya penindakan
di lapangan kurang efektif,” ujarnya.
Menjaga laut, tanpa melibatkan pesawat
surveillance tidak akan efektif. Kebutuhan pesawat ini sudah diutarakan sejak
2003, oleh para pengamat, “Namun konsep dirgantara yang kami sampaikan belum
terimplimentasikan. Ini disebabkan sistem politik kita hanya bertahan lima
tahun dan setelah itu pola kebijakan berubah,” kata Prasetyo. Di sinilah
perlunya haluan negara agar kebijakan terus dilaksanakan secara
berkesinambungan. Petinggi partai sudah menyadari bahwa pola liberal tidak bisa
diteruskan. Dampaknya saat ini 90 persen sumber daya dikuasai asing karena
kesalahan dalam format hukum sejak awal. Seperti izin pertambangan, ketika
perusahaan dikasih izin, barangnnya seakan-akan milik dia. (Khoir/LINES)
sumber : ldii.or.id