HIDUP SEDERHANA SEBAGAI PENANGKAL HEDONIC TREADMILL (Ilustrasi) |
Biasanya digunakan pada masalah yang berkaitan dengan perilaku konsumen dalam kehidupannya. Konsumtif, satu gaya hidup konsumen yang cenderung terjadi di dalam masyarakat, gaya hidup yang menganggap materi sebagai sesuatu yang bisa mendatangkan kepuasan. Gaya hidup seperti ini dapat menimbulkan adanya gejala komsumtivisme.
Fromm (1998) mengatakan bahwa manusia sering dihadapkan pada persoalan untuk memenuhi kebutuhannya dan mempertahankan kehidupannya. Oleh karena itu, manusia harus melengkapi kebutuhannya tersebut. Namun tuntutan untuk memenuhi kebutuhan dan mempertahankan hidup kini bergeser menjadi dorongan untuk memenuhi keinginan dan hasrat seiring perkembangan zaman yang semakin maju dan kompleks, apalagi di era globalisasi saat ini.
Akhirnya yang terjadi makin tinggi income seseorang , ternyata makin menurunkan arti / fungsi / peran uang dalam membentuk kebahagiaan ?
Kajian-kajian dalam ilmu financial psychology menemukan jawabannya , yang kemudian dikenal dengan nama :
" hedonic treadmill ”.
Gampangnya , hedonic treadmill ini adalah seperti ini :
Saat gajimu 5 juta , semuanya habis.
Saat gajimu naik 30 juta per bulan , eh... semua habis juga. Kenapa begitu ?
Karena harapan / ekspektasi dan gaya hidupmu pasti ikut naik , sejalan dengan kenaikan penghasilanmu.
HEDONIC TREADMILL |
Dengan kata lain , nafsumu untuk membeli materi / barang mewah akan terus meningkat sejalan dengan peningkatan income-mu.
Itulah kenapa disebut hedonic treadmill :
Seperti berjalan di atas treadmill , kebahagiaanmu tidak maju-maju !!!
Namun nafsu materi tidak akan pernah terpuaskan.
Saat income 10 juta/bulan , mau naik Avanza.
Saat income 50 juta/bulan pengen berubah naik Alphard. Itu salah satu contoh sempurna tentang jebakan hedonic treadmill.
Hedonic treadmill membuat ekspektasimu akan materi terus meningkat.
Itulah kenapa kebahagiaanmu stagnan , meski income makin tinggi.
Ada eksperimen menarik :
Seorang pemenang undian berhadiah senilai Rp5 milyar dilacak kebahagiaannya 6 bulan setelah ia mendapat hadiah.
Apa yang terjadi ?
6 bulan setelah menang hadiah 5 milyar , level kebahagaiaan orang itu SAMA dengan sebelum ia menang undian berhadiah.
Itulah efek hedonic treadmill.
Jadi apa yang harus dilakukan agar kita terhindar dari jebakan hedonic treadmill ?
Lolos dari jebakan nafsu materi yang tidak pernah berujung ?
Terapkan lah gaya hidup yang bersahaja !!!
Sekeping gaya hidup yang tidak silau dengan gemerlap kemewahan materi.
Mengubah orientasi hidup !!!
Makin banyak berbagi , semakin banyak memberi kepada orang lain , teruji justru semakin membahagiakan...!!!
Bukan - lah banyak mengumpulkan materi yang membuat kebahagiaanmu terpuaskan !!!
When enough is enough.
Kebahagiaan itu kadang sederhana misal masih bisa menikmati secangkir kopi panas , memeluk anggota keluarga yang sehat , tersenyum memulai hari hari , berbagi peduli memberi makna dan manfaat terhadap sesamanya , menyapa dan mengasih tip ke tukang sampah , lanjut membaca "makanan" spiritual sepanjang perjalanan menuju tempat tugas berdzikir , berbakti untuk bangsa dan agama , maka betapa indahnya hidup ini !!!
Selamat menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya Saudaraku dan Sahabatku serta Temenku.
أَلهاكمُ التكاثرُ - حتى زُرْتمُ المقابرَ - كلاَّ سوْفَ تعلمونَ* (التكاثر 1-3)
“ Bermegah-megahan telah melalaikan kamu "
" Sampai kamu masuk ke dalam kubur "
" Janganlah begitu , kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu).”
إِنَّ الإِنْسانَ خلقَ هلوعاً - إِذَا مسهُ الشرُّ جزُوعاً - وَإِذَا مسهُ الخيرُ منوعاً* (المعارج 19-21)
" Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir "
" Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah , dan apabila ia mendapat kebaikan ia semakin kikir ”.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
ليس الغنى عن كثرة العرَض، ولكن الغنى غنى النفس (رواه البخاري)
“ Kekayaan itu bukanlah lantaran banyak harta bendanya , akan tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah kebahagiaan jiwa dan ketentraman jiwa ".
Semoga Alloh memberikan manfaat dan barokah.
--------------------------
Dari Tulisan mantan Rektor ITB, Prof. Akhmaloka dan sumber lainnya